Oleh Oase Mala
Nguiiiinggg
DUARRRR
Spontan aku menunduk sekaligus melindungi kepala menggunakan kedua tangan. Badai debu buatan menghempas. Terasa panas saat menyentuh kulitku. Dentuman barusan membuat jantungku terjun bebas. Kedua tanganku bahkan tak terasa telah menekan kepala terlalu kencang.
Tanah berguncang akibat dentuman mahadahsyat. Jelas yang barusan itu bukan mercon Kalih, si anak yang rumahnya ada di pojokan jalan. Bukan juga suara kembang api yang biasa Rudi nyalakan ketika menjelang hari raya ataupun saat-saat merayakan hatinya yang senang bukan kepalang.
Yang barusan lebih hebat dari itu semua. Sekaligus lebih mematikan. Lima detik setelahnya, tepat ketika dengan takut-takut aku membuka sebelah mata, suara mengagetkan berikutnya menggema. Dengan lutut yang bergetar, aku bangkit perlahan. Beberapa orang terlihat berlari. Jeritan dan tangisan terdengar dari arah kedua sisi telingaku.
Dari balik dinding yang kulewati, carut-marut orang, bergerak maupun tidak, semuanya bercampur dengan bongkahan dinding bangunan. Ya Tuhan, mercon sebesar apa yang baru saja membuat kehebohan luar biasa seperti ini? Senakal-nakalnya Kalih dan Rudi, mereka tak akan berani melempar mercon pada anak-anak kecil di bawah umur mereka.
Lebih jauh, kaki gemetarku mencoba terus melangkah. Seorang laki-laki, seumuran ayah sedang duduk bersimpuh di antara puing-puing reruntuhan. Di wajahnya tak ada jejak air mata, tapi ia pun terduduk bak patung penjaga. Sorot matanya sulit diartikan. Kedua lengannya mendekap erat sisa rentuhan dari sekelilingnya. Aku tak berani bertanya. Lebih tepatnya tak sanggup.
Menyambung suara tangis dan lalu lalang orang yang membawa anak-anak dengan anggota badan berdarah-darah, juga yang wajahnya nampak telah membiru. Belum lagi orang-orang yang membawa bungkusan-bungkusan panjang. Aku pun ambruk. Gemetar hebat di kakiku tak kuasa kutahan lagi.
Perlahan tapi pasti, kedua sudut bibirku mulai bergetar. Rasa takut memeluk hati. Isak tangis mulai pecah.
***
“Yah, kok bacain itu buat Andre sih? Dia ‘kan masih kecil,” nada khawatir terdengar jelas dari kalimat Dewi yang baru saja meletakkan sepiring irisan buah Semangka hasil kebun orangtuanya.
“Andre yang tadi penasaran, Bu. Tahu sendiri kalo dia udah penasaran, harus dijawab dulu,” aku Teguh.
“Biasanya ‘kan Ayah bisa alihin ke buku yang lain. Bukan justru bacain berita itu,” suara Dewi berubah desisan. Kemudian memberikan satu irisan buah Semangka pada suaminya.
Tanpa sepengetahuan keduanya, sebelah tangan Andre mengambil satu iris buah Semangka. Tak bersuara, bocah kelas 3 SD itu buru-buru menjejalkannya ke bibir yang mulai bergetar. Tepat pada gigitan pertama, bulir air matanya pun meleleh.
_Selesai_
Desa Ngapak, 2023-11-05